Mas Dodo akan meminangku minggu depan. Aku yang masih duduk di bangku kuliah membelalak saat mendengar kabar itu. Siapa sangka anak perempuan berusia 19 tahun sepertiku ini sudah di pinang oleh seorang dokter spesialis bedah syaraf. Aku sendiri belum menyelesaikan study ku di Fakultas Kedokteran sebuah Universitas swasta di Jakarta.

Aku mengenal Mas Dodo ketika sedang praktikum Medical Surgical di laboratorium kampus kami. Kebetulan Mas Dodo adalah dokter senior yang ikut mengajar di kampusku. Beliau juga dulu kuliah di kampus yang sama denganku. Tak jarang kami sering bertatap muka dan bersalam sapa jika bertemu dalam sebuah praktikum.
“Bagaimana dengan hasil Ujian Tengah Semester kemarin, Dek? Kok Mas Dodo tidak diberitahu?” ungkap Mas Dodo padaku seraya membetulkan stetoskopnya yang hampir jatuh ke lantai.
Alhamdulillah aku lulus Mas, ini semua berkat doa dan bimbingan dari Mas Dodo.” jawabku singkat sambil menjaga pandangan padanya.
“Dek, Mas ingin membicarakan tentang persiapan lamaran nanti. Adek mau dibelikan apa nanti?” kata Mas Dodo yang tampak bersemangat sambil membetulkan kacamatanya yang melorot ke hidungnya.
“Mas Dodo, sebenarnya Amira belum siap untuk menikah dini.” Amira ingin bekerja dahulu dan membahagiakan kedua orangtua.” jelasku pada calon suamiku itu.
“Dek, jangan pernah dustai hatimu. Aku paham, kau juga mencintaiku kan?” ungkap Mas Dodo dengan mata sendunya.
“Mas Dodo,  Amira juga belum menyelesaikan kuliah kedokteran ini, bagaimana dengan kuliahku nanti?” kataku cemas.
“Amira tahu kan kalau Mas sekarang sudah menjadi dokter tetap  di Rumah sakit? Amira tak perlu lagi takut akan biaya pernikahan dan kebutuhan kita setelah menikah nanti. Bahkan Mas bisa membantu kuliah Amira dengan leluasa karena kita sudah muhrim.” jelas Mas Dodo padaku.
Aku terdiam sejenak, menatap wajah calon suamiku ini. Minggu lalu ia sudah menghadap kedua orangtuaku untuk izin meminang. Ayah dan ibuku sudah menyetujui pernikahan kami. Ibuku bilang Mas Dodo adalah seorang ikhwan yang baik,  apalagi dia juga seorang dokter spesialis yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, tidak pandang bulu untuk mengobati pasien, yang kaya atau miskin selalu dilayani dengan baik tanpa ada perbedaan. Ayahku yang juga seorang dokter spesialis penyakit dalam sangat menyetujui pernikahan kami. Ayahku adalah dosen Medical Surgical di kampusku, tetapi sekarang tidak lagi karena telah mengepalai sebuah Rumah sakit negeri di Jakarta.
Aku memang simpati pada Mas Dodo. Dia adalah dokter muda yang penuh semangat. Lahir dari keluarga yang bukan keturunan dokter dan berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, akan tetapi memiliki tekad yang kuat untuk menjadi dokter spesialis. Pada akhirnya ia pun dapat menyelesaikan S2 nya dengan cumlaude.
Pertemuan pertamaku dengannya terjadi saat praktikum Medical Surgical di laboratorium kampusku memang merupakan awal yang manis bagiku. Di usiaku yang menginjak 19 tahun ini, belum pernah aku berpacaran atau dekat dengan seorang laki-laki. Akan tetapi kali pertama aku bertemu dengannya, hatiku penuh akan cinta, dan aku merasakan segumpal kesyahduan melanda hatiku. Rasa simpatiku padanya melebihi batas antar seorang dosen dan mahasiswa.
Dua kali aku bertatap muka padanya, ia langsung menyatakan maksudnya untuk meminangku, karena sebelumnya ternyata ia telah mendapatkan banyak informasi dari sahabatku Melani. Melani banyak bercerita kepada Mas Dodo tentang Ayahku yang dulu juga seorang dosen tetap di kampus kami. Kemudian menceritakan tentang diriku yang merupakan anak semata wayang dari pasangan dokter yang menikah muda. Dari sini lah Mas Dodo berani meminangku dengan stetoskopnya itu, karena ia telah mengetahui seluk-beluk keluargaku dari Melani. Apalagi ia juga mengetahui bahwa Ayahku dulu meminang Ibuku yang masih berusia 19 tahun sewaktu masih sekolah perawat. Mungkinkah aku juga akan mengikuti jejak Ibuku yang menikah muda dengan seorang dokter? Entahlah.
***
Malam ini terasa dingin, entah benar-benar dingin atau hatiku yang sedang beku bersimbah kebimbangan. Kuputuskan untuk mengambil sebuah buku diary dan kutuliskan beberapa baris kata di sana. Tak lupa kutorehkan senyum mengembang di akhir tulisanku.
Malam ini aku harus lebih cepat tidur agar bisa mencurhakan lagi isi hatiku pada Sang Khalik Yang Maha Tinggi. Mengungkapkan sanjung di setiap helaian bimbang ini pada-Nya. Menikmati manisnya kesunyian dengan Tuhanku. Kuselimuti teddy bear kesayanganku dengan selimut berwarna putih, dan kugapai malam bersamanya seraya menanti sepertiga malam terakhir.
***
“Amira anakku?” kata Ibuku memanggil dari luar kamar.
“Ya, Bu. Ada apa?” jawabku.
“Bagaimana kabar Nak Dodo?”
Alhamdulillah Mas Dodo baik-baik saja, Bu.” jawabku singkat.
“Syukurlah Ibu senang mendengarnya. Apa kabar hatimu sayang? Sudahkah Amira teguhkan dan istikharah untuk munakahat dengan, Nak Dodo?” kata Ibuku lembut seraya mengelus pundakku dengan jemarinya yang mungil.
Aku terdiam. Seakan-akan lidahku kelu, tak ada lagi keinginan untuk mengucapkan kata-kata. Galauku yang membuncah, retak menjadi belah-belah hati yang beku. Tak bisa menjawab pertanyaan Ibuku, aku hanya melempar senyum anyir.
“Ibu mengerti perasaanmu, Nak. Mintalah petunjuk dari Allah lagi untuk meyakinkan hatimu ya, Nak.” ujar Ibuku.
“Ya, Bu. Amira insya Allah akan selalu meminta petunjuk pada Allah dan memohon yang terbaik untuk Amira dan Mas Dodo.
***
Tiga hari kemudian…
Alhamdulillah, aku sudah memiliki  keputusan yang mantap untuk menikah dengan Mas Dodo. Tak ada lagi senyum anyir yang kuperlihatkan pada Ibuku. Mungkin ini adalah jalan terbaik bagiku dan Mas Dodo. Ayahku pernah bilang padaku :
“Bahwa jika seorang wanita di datangi oleh dua pilihan, pekerjaan dan jodoh, maka segeralah untuk menerima tawaran yang kedua. Apalagi jika jodoh yang datang kepadamu adalah seorang yang shaleh dan ahli ibadah, maka beristikharahlah kepada Allah untuk memohon petunjuk.”
Alhamdulillah, aku akhirnya memutuskan untuk menerima pinangan Mas Dodo dan menikah dengannya. Mas Dodo dan keluarganya akan datang dua hari lagi untuk meminangku. Aku dan keluargaku harus menyambutnya dengan suka cita dan penuh dengan rasa syukur.
***
Akhirnya hari bahagia itu tiba. Mas Dodo dan keluarganya datang ke rumahku dengan membawa bawaan lamaran. Di rumahku sudah banyak kolega Ayah dan Ibu juga keluarga besarku. Melani sahabatku yang selalu setia padaku menggenggam tanganku kuat-kuat dan melukiskan senyum indah di bibirnya untukku.
Acara lamaran pun berjalan dengan lancar. Kedua belah pihak, keluargaku dan keluarga Mas Dodo pun menentukan tanggal pernikahan kami. Bulan depan kami akan menikah, segala sesuatunya sudah Mas Dodo persiapkan. Kami akan mengikuti sunnah Rasul di sebuah Masjid.
Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa hari pernikahan kami  tiba. Aku melihat Mas Dodo menggunakan jas putih bernuansa gold dan peci di kepalanya, tampak sangat tampan. Sedangkan aku yang masih sangat terlihat muda menggunakan kebaya brukat putih bernuansa gold dengan payet penuh yang indah menyelimuti seluruh tubuhku hingga mata kaki.
Ijab-qabul pun dilaksanakan. Akhirnya kami  sah menjadi pasangan suami isteri. Kini aku telah menjadi isteri seorang Dokter yang bernama Ridho Al-Banna. Wajah-wajah bahagia bersinar di hadapan kami. Sinar bahagia juga terpancar dari aura kedua orangtua kami. Sungguh rasa syukur aku panjatkan pada Allah. Aku akan mengikuti jejak  Ibuku dan jejak Khadijah, isteri Rasulullah SAW.
Subhanallah, benar apa yang Ibu dan Ayahku katakan. Tak selamanya pernikahan dini menjadi momok menakutkan bagi wanita muda. Segalanya akan terasa indah dengan istikharah cinta. “Mas Dodo, stetoskop dan imanmu telah menyemah hatiku.”